Rabu, 26 September 2007

Yayasan Asoe Nanggroe


PERCAYAKANLAH BANTUAN ANDA MELALUI KAMI
KAMI SIAP MENGEMBAN AMANAH ANDA DALAM BENTUK APAPUN
DENGAN KEJUJURAN, TRANSPARANSI DAN KOMITMEN YANG KUAT
MARI KITA BERKERJA SAMA MEMBANGUN MASA DEPAN ACEH...

Nangggroe Aceh Darussalam




Aceh adalah sebuah Daerah Istimewa di hujung Pulau Sumatra. Aceh terletak di barat laut Sumatra dengan kawasan seluas 57,365.57 km per segi atau merangkumi 12.26% pulau Sumatra. Aceh memiliki 119 buah pulau, 73 sungai yang besar dan 2 buah danau, Danau Laut Tawar di Takengon, Aceh Tengah dan Danau Aneuk Laot di Kota Sabang. Aceh dikelilingi Selat Melaka di sebelah utara, Provinsi Sumatera Utara di timur dan Lautan Hindi di selatan dan barat. Ibu kota Aceh adalah Banda Aceh yang dahulunya dikenali sebagai 'Kutaradja'.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai muzeum cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh kerananya Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Pada abad ke-16, Ratu Inggeris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat karena wabah Kolera. Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Dawud Syah ditabalkan sebagai Sultan di Masjid Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada belanda pada tahun 1903 setelah dua Isterinya, anak serta Ibondanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bagunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernor
Babad Cina pada awal 6 M telah menyatakan kewujudan sebuah kerajaan di bahagian ujung utara pulau Sumatra yang mereka kenali sebagai Po-Li. Naskhah Arab dan India kurun ke-9 juga telah mengatakan perkara yang sama. Dibandingkan dengan kawasan-kawasan [di Indonesia] yang lain, Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar.
Aceh memiliki sebuah sejarah yang lama. Aceh memainkan peranan penting dalam tranformasi yang dijalani daerah ini sejak berdirinya.
Marco Polo, pada 1292, sewaktu dalam pelayaran ke Parsi dari China telah singgah ke Sumatra. Beliau melaporkan terdapat enam pelabuhan yang sibuk di bahagian utara pulau tersebut. Mereka termasuk perlabuhan Perlak, Samudera dan Lamuri.
Kerajaan Islam pertama yang berdiri di Aceh adalah Kerajaan Perlak pada tahun 840 M (225 H). Sultan pertama Kerajaan Perlak yang terpilih adalah Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah (peranakan Arab Quraisy dengan puteri Meurah Perlak) yang bergelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah. Kerajaan ini berdiri sekitar 40 tahun setelah Islam tiba di Bandar Perlak yang dibawa oleh saudagar dari Teluk Kambey(Gujarat) pimpinan Nakhuda Khalifah. Kerajaan inilah yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Penguasaan pelabuhan di Melaka oleh Portugis pada 1511 telah menyebabkan banyak pedagang Arab dan India memindahkan perdagangan mereka ke Aceh. Kedatangan mereka membawa kekayaan dan kemakmuran kepada Aceh, dan menandakan mulanya penguasaan Aceh dalam perdagangan dan politik di utara pulau Sumatra khususnya dan Nusantara umumnya. Keadaan ini bertahan hingga ia mencapai puncaknya antara tahun 1610 dan 1640.
Kemunduran Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641 disebabkan penguasaan perdagangan oleh Inggeris dan Belanda. Ini juga menyebabkan mereka berlumba-lumba menguasai sebanyak-banyaknya kawasan di Nusantara untuk kegiatan perdagangan mereka. Perjanjian London 1824 yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Belanda telah mendapati lebih sukar untuk melawan Aceh dari apa yang mereka sangkakan. Perang Aceh, yang berlansung dari 1873 hingga 1942 (tetapi tidak berlanjut-lanjut), merupakan sebuah peperangan paling lama dihadapi oleh Belanda dan meragut lebih 10,000 orang tentera mereka.
Pasca-pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM), atau sering dikenal dengan Operasi Jaring Merah, pada 7 Ogos 1998 yang sudah berlangsung selama 10 Tahun sejak 1989, tuntutan kemerdekaan Aceh yang disuarakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kian bergema. Selain itu, muncul tuntutan pungutan suara sebagai akumulasi kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintah Jakarta. Tuntutan itu digerakkan oleh para intelektual muda Aceh yang terhimpun dalam Organisasi Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berhasil mengakomodasi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Misalnya tercermin dalam aksi kolosal yang dibuat oleh SIRA pada 8 November 1999 yang dihadiri oleh 2 Juta rakyat Aceh dari berbagai kabupaten di Aceh. SIRA yang dipimpin oleh Muhammad Nazar berhasil memobilisir perjuangan rakyat Aceh, untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.
Sultan Aceh
• 1496-1528 Sultan Ali Mughayat Syah. Ayahanda daripada:
• 1528-1537 Sultan Salahuddin. Kakanda daripada :
• 1537-1568 Sultan Alauddin al Qahhar. Ayahanda daripada:
• 1568-1575 Sultan Husain Ali Riayat Syah. Ayahanda daripada:
• 1575 Sultan Muda
• 1575-1576 Sultan Sri Alam. ananda daripada Alauddin al Qahhar
• 1576-1577 Sultan Zainal Abidin 1576-1577. Cucu daripada Alauddin al Qahhar
• 1577-1589 Sultan Alauddin Mansur Syah Ibni Almarhum Sultan Mansur Syah I (Sultan Perak 1549-1577). Kakanda Sultan Ahmad Tajuddin Syah, Sultan Perak,
• 1589-1596 Sultan Buyong
• 1596-1604 Sultan Alauddin Riayat Syah. Grandson (via son) of a brother of the father of 1st Sultan Ali Mughayat Syah dan Ayahanda daripada:
• 1604-1607 Sultan Ali Riayat Syah
• 1590-27 Desember 1636 Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Cucu (dari anak perempuan) Alauddin Riayat Syah
• 1636-1641 Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah. Anak Sultan Pahang, Ahmad Syah II
• 1641-1675 Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam. Putri Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam dan janda Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah
• 1675-1678 Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam
• 1678-1688 Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah
• 1688-1699 Sri Ratu Kamalat Syah Zinatuddin
• 1699-1702 Sultan Badrul Alam Syarif Hashim Jamaluddin
• 1702-1703 Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui
• 1703-1726 Sultan Jamal ul Alam Badrul Munir
• 1726 Sultan Jauhar ul Alam Aminuddin
• 1726-1727 Sultan Syamsul Alam
• 1727-1735 Sultan Alauddin Ahmad Syah
• 1735-1760 Sultan Alauddin Johan Syah
• 1750-1781 Sultan Mahmud Syah
• 1764-1785 Sultan Badruddin
• 1775-1781 Sulaiman Syah
• 1781-1795 Alauddin Muhammad Daud Syah
• 1795-1815 dan 1818-1824 Sultan Alauddin Jauhar ul Alam
• 1815-1818 Sultan Syarif Saif ul Alam
• 1824-1838 Sultan Muhammad Syah
• 1838-1857 Sultan Sulaiman Syah
• 1857-1870 Sultan Mansur Syah
• 1870-1874 Sultan Mahmud Syah
• 1874-1903 Sultan Muhammad Daud Syah
Agama
Manyoritas penduduk di Aceh memeluk agama Islam. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimemawaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, kerana provinsi ini menjadi modal untuk indonesia dan syariat Islam diperlakukan kepada sebahagian besar warganya yang menganut agama Islam.
Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia Walaupun banyak yang menggunakan bahasa Aceh dalam pergaulan sehari-hari, namun tidak bererti bahwa corak dan ragam bahasa Aceh yang digunakan sama. Tidak saja dari segi dialek yang mungkin berlaku bagi bahasa di daerah lain; bahasa Aceh bisa berbeza dalam pemakaiannya, bahkan untuk kata-kata yang bermakna sama. Kemungkinan besar hal ini disebabkan banyakya percampuran bahasa, terutama di daerah pesisir, dengan bahasa daerah lainnya atau juga kerana kelestarian bahasa aslinya
Geografi
Aceh memiliki wilayah seluas 57.365,57 Km2, yang terdiri atas kawasan hutan lindung 26.440,81 Km2, kawasan hutan budidaya 30.924,76 Km2 dan ekosistem Gunung Leuser seluas 17.900 Km2, dengan puncak tertinggi pada 4.446 m diatas permukaan laut.
- Sebelah utara dengan Laut Andaman
- Sebelah timur dengan Selat Melaka
- Sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara
- Sebelah barat dengan Samudra Hindia.
- Daerah Melingkupi : 119 Pulau, 35 Gunung, 73 Sungai
- Nanggroe (Banyaknya Dati II): 21 Kabupaten
- Banyaknya Kecamatan : 228
- Mukim : 642
- Kelurahan : 111
- Gampong (Desa) : 5947
Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa.
Aceh merupakan kawasan yang paling teruk dilanda gempa bumi 26 Disember 2004. Beberapa tempat di persisiran pantai dilaporkan musnah sama sekali. Malah Banda Aceh turut hampir musnah dilanda tsunami.
Aceh mempunyai khazanah sumber bumi seperti minyak dan gas asli.
Penduduk
Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku kaum dan bangsa. Bentuk fizikal mereka menunjukkan ciri-ciri orang Nusantara, Cina, Eropah dan India. Leluhur orang Aceh dikatakan telah datang dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin China dan Kemboja. Kumpulan-kumpulan etnik yang terdapat di Aceh adalah orang Aceh yang terdapat di merata Aceh, orang Gayo di Aceh Tengah, sebahagian Aceh Timur, Bener Meriah dan Gayo Lues, orang Alas di Aceh Tenggara, orang Tamiang di Aceh Tamiang, Aneuk Jamee di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, orang Kluet di Aceh Selatan dan orang Simeulue di Pulau Simeulue. Aceh juga mempunyai bilangan keturunan Arab yang tinggi. Sebuah suku bangsa berketurunan Eropah juga terdapat di Kecamatan Jaya, Aceh Jaya. Mereka beragama Islam dan dipercayai adalah dari keturunan askar-askar Portugis yang telah memeluk agama Islam. Pada amnya, mereka mengamalkan budaya Aceh dan hanya boleh bertutur dalam bahasa Aceh dan bahasa Indonesia.
Gabenor
• 1945-1947 Teuku Nyak Arif
• 1947-1948 Teuku Daud Syah
• 1948-1951 Teungku Muhammad Daud Beureueh, Gabenor Militer
• 1951-1952 Danu Broto
• 1952-1953 Teuku Sulaiman Daud
• 1953-1955 Abdul Wahab
• 1955-1956 Abdul Razak
• 1957-1964 Prof Dr Ali Hasyimi
• 1964-1966 Nyak Adam Kamil
• 1966-1967 H Hasbi Wahidi
• 1967-1978 A Muzakir Walad
• 1978-1981 Prof A Madjid Ibrahim
• 1981-1986 Hadi Thayeb
• 1986-1993 Prof Dr Ibrahim Hassan
• 1993-21 Jun 2000 Prof Dr Syamsudin Mahmud
• 21 Jun 2000-November 2000 Ramli Ridwan, Pejabat Gubernur
• November 2000-19 Julai 2004 Abdullah Puteh Nanggroe Aceh Darussalam, diberhentikan kerana kasus korupsi dan masuk penjara.
• 19 Julai 2004-30 Disember 2005 Azwar Abubakar Pejabat Gubernur; mengantikan Abdullah Puteh yang dipenjara 10 tahun karena kasus korupsi.
• 30 Disember 2005-8 Februari 2007 Mustafa Abubakar Pejabat Gubernur.
• 8 Februari 2007- Sekarang Drg. Irwandi Yusuf Gabenor terpilih dari jalur independen pasca MOU Helsinski
Nanggroe (Daerah Tingkat II)
1. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Barat
2. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Barat Daya
3. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Besar
4. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Jaya
5. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Selatan
6. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Singkil
7. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Tamiang
8. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Tengah
9. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Tenggara
10. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Timur
11. Nanggroe (Kabupaten) Aceh Utara
12. Nanggroe (Kabupaten) Bener Meriah
13. Nanggroe (Kabupaten) Bireuen
14. Nanggroe (Kabupaten) Gayo Lues
15. Nanggroe (Kabupaten) Nagan Raya
16. Nanggroe (Kabupaten) Pidie
17. Nanggroe (Kabupaten) Pidie Jaya
18. Kota Banda Aceh
19. Kota Langsa
20. Kota Lhokseumawe
21. Kota Sabang
22. Nanggroe (Kabupaten) Simeulue

Senin, 24 September 2007

ACEH BELAJAR DARI KEGAGALAN MINDANAO



Oleh: Andi Firdaus*)

Dua tahun perdamaian tentunya masih sangat muda, apalagi buru-buru mengambil kesimpulan ketidakmampuan pemerintah Irwandi-Nazar dalam mengelola rakyatnya. Meski demikian, jangan terlalu cepat bangga dan puas dengan umur perdamaian yang se-umur jagung.

Perkataan salah seorang teman dari I-Baloi Muslim Christian for Peace, Datu Gamal pada pertemuan konsolidasi Bangsamoro di Mindanao, damai hanyalah persiapan konspirasi politik baru dalam merebut untuk mempertahankan kekuasaan masing-masing. Benarkah? Mungkin Gamal punya pengalaman tersendiri di negaranya, Filipina.

Kesepakatan damai antara pemerintah Filipina dan Moro National Liberation Front (MNLF) di Mindanao yang dimotori pemerintah Malaysia pada tahun 1996, akhirnya membawa pemimpin MNLF Nur Misuari menjadi Gubernur ARMM—sebuah wilayah Otonomi Muslem di Mindanao.

Namun, ketika Misuari menjadi Gubernur, tak banyak perubahan bisa dilakukan. Bahkan harapan rakyat yang telah memilihnya pada pemilihan umum tidak banyak bisa diberikan. Hingga mantan pemimpin MNLF berkelut dengan dilema politik yang terus menyelimuti kursi kepemimpinannya.

Pertama soal lahirnya Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang didirikan Slamet Hasyim dan rekan-rekan. MILF muncul karena factor ketidakpuasan politik yang dimotori Nur Misuari dalam melakukan perjanjian damai dengan pemerintah Filipina. Kedua Misuari tidak mampu memberi harapan kepada rakyat yang telah mendukungnya pada pemilihan Gubernur.

Bahkan Misuari telah gagal meredan gerakan MILF untuk terus memperjuangan kemerdekaan bagi Bangsamoro. Sehingga Ia tidak mempu meredam gonjangan politik yang terus mewarnai wilayah Mindanao hingga mengakibatkan lahirnya kekerasan dan korban dari masyarakat sipil.

Bagimana dengan pemerintahan Irwandi-Nazar? Jika pemerintahan hasil pilkada ini tidak melihat bahwa kesejahteraan rakyat dan keadilan menjadi perioritas, maka tidak mustahil kepercayaan masyarakat Aceh akan hilang seiring berjalannya waktu. Jangan sampai damai hanya menciptakan sekelompok orang menjadi jutawan baru di Serambi Mekah.

Gaji pagawai BRR puluhan juta adalah bukti betapa rakyat kembali terusik. Publikasi media dengan dana Aceh mencapai triliun adalah permainan di tepi jurang. Pasalnya, jika dana sebesar itu tidak dikelola dengan baik dan hanya menguntungkan pada elit, maka konflik social dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah bakal kembali terjadi.

Konspirasi politik yang dimainkan Manila terhadap mantan pemberontak Nur Misuari menjadi pengalaman sejarah pahit bagi gerakan MNLF. Seperti kucuran dana dari Manila yang tersendat dan tidak mencukupi pembangunan di wilayah Otonomi Religion Muslem Mindanao (ARMM). Akhirnya konflik social terjadi dan Nur Misuari ditinggalkan pengikutnya.

Bagaimana dengan Aceh, salah satu badan yang memiliki peran penting dalam soal reintegrasi adalah Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA). Jika BRA tidak mengkonsepkan pelayanan terhadap korban konflik, maka hal yang sama akan terjadi pada pengalaman pemimpin MNLF tersebut. Apakah Aceh juga punya konspirasi sama dengan Jakarta?

Terlalu awal untuk mengatakan sebuah kekhawatiran. Sebagai acuan saja, pemerintahan terpilih Nur Misuari mendapat bantuan dana dari pemerintah sebesar 615 juta peso atau sekitar 100 miliar rupiah lebih. Namun karena banyaknya penyunatan dan korupsi, dana tersebut tidak efektif bagi pembangunan sebagai mana mestinya.

Setelah enam tahun terbentuk, ARMM tetap saja menjadi kawasan terkumuh dan miskin di Filipina. Bayangkan dengan Aceh. Menurut wakil Gubernur Muhammad Nazar, dari dana bagi hasil minyak dan gas saja menjacai Rp.1,9 triliun secara keseluruhannya. Kemudian ditambah dengan Dana Alokasi Umum (DAU) yang mencapai Rp.4 triliun.

Jika dana ini pada tahun 2008 tidak menyentuh berbagai sektor kepentingan publik, maka ini juga merupakan tantangan besar bagi kepemimpinan Irwandi-Nazar. ’’Saya ingin korupsi di Aceh bisa diberantas sehingga uang rakyat bisa benar-benar sampai ke tangan rakyat,’’ seperti diberitakan sebuah situs antikorupsi.org.

Pernyataan ini merupakan ketegasan dari sosok Irwandi Yusuf. Namun dalam aplikasi, tidak hanya cukup dengan pernyataan, tapi juga butuh action yang nyata. Sebagai informasi kepada pak Gubernur untuk mempertanggungjawabkan ucapannya, ratusan masyarakat pada 11 Juli telah menyampaikan aspirasi berkenaan dengan adanya penyelewenagan pembangunan rumah korban konflik di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Menindaklanjuti pertemuan tersebut, maka pada tanggal 1 Agustus 2007 pihak DPRA (Komisi A dan Komisi D), BRA Provinsi Aceh, BRA Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, Dinas Sosial Provinsi Aceh serta Dinas Sosial Kabupaten Bener Meriah dan Dinas Sosial Aceh Tengah secara bersama-sama telah turun ke lapangan untuk melihat secara langsung laporan masyarakat korban konflik. Hasilnya memang benar ada indikasi korupsi kalau tidak mau dikatakan terjadi korupsi.

Hasil temuan lapangan tersebut, masyarakat korban konflik memohon dukungan moral maupun politik dari DPRA sebagai lembaga legislative untuk mengeluarkan rekomendasi kepada lembaga yudikatif, karena banyaknya terjadi penyimpangan anggaran dan penyalahgunaan wewenang di tingkat birokrasi yang sangat merugikan masyarakat korban konflik selaku penerima manfaat

Kemudian masyarakat menuntut pemerintah untuk memberi keadilan kepada korban konflik sebagai bagian dari terwujutnya pemerintah Irwandi-Nazar yang bersih dan berwibawa. Pertama, meminta kepada pihak Penegak Hukum untuk melakukan investigasi dan penyelidikan terhadap kasus penyelewangan anggaran dan penyalahgunaan wewenang.

Serta tuntutan kedua adalah meminta kepada pemerintah pusat maupun daerah untuk segera melakukan upaya pemenuhan hak-hak korban, atas kerugian yang dialami dalam proses pembangunan rumah bantuan untuk masyarakat korban konflik. Dua tuntutan tersebut merupakan informasi bagi Bang Irwandi selalu Gubernur Aceh.

Jutaan rakyat Aceh kini mempercayai Irwandi sebagai ujung tombak perubahan. Sebagai kampium perdamaian yang diagung-agungkan rakyat, sudah sepatutnya Irwandi melakukan langkah-langkah berani dalam mengambil kebijakan. Kebijakan pecat di tempat bagi pelaku korupsi adalah sikap yang kini ditunggu masyarakat tanah rencong.

Jika dana yang mengalir ke Aceh tidak banyak menyentuh kepentingan korban konflik dan orang-orang yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, maka tidak salah bahwa perdamaian hanya akan menciptakan segelintir orang menjadi jutawan. Seperti jumlah gaji 21 juta per orang setiap bulannya yang didanai BRR (Serambi, 29/08/07).

Jika kecemburuan sosial tanpa disadari telah diciptakan, maka hasilnya adalah konflik sosial dengan berbagai kepentingan di dalamnya, dan perdamaian hanya lipstik untuk menutupi perilaku pejabat di tanah air mata ini. Bisa saja seiring berjalannya waktu, gerakan yang pada awalnya besifat individualistik akan menjadi gerakan komunal menyeluruh.

Memang pada mulanya hanya sebatas kekecewaaan dan sakit hati melihat tingkah laku para elit. Namun jika aspirasi grass root diabaikan maka tidak tertutup kemungkinan konsolidasi rakyat akan berujung kepada perlawanan baru. Baik dalam bentuk kekerasan maupun penyampaian aspirasi secara demokrasi.

Karena pergesekan sosial dan pertarungan sosial setiap saat akan terjadi jika pemerintah tidak melihat permasalahan masyarakat secara dekat. Barisan sakit hati akan merakit diri untuk melawan sebuah kesewenang-wenangan seperti yang telah dilakukan Irwandi dan Nazar pada pengalaman sebelumnya.

Merawat perdamaian di Aceh memang butuh waktu dan kesabaran semua pihak. Akan tetapi ada tanda-tanda menuju ke arah membangun perdamaian melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil. Tidak hanya mementingkan aparatur negara seperti disebutkan situs forumlsmaceh.org, bahwa perioritas qanun yang dibuat 59 % adalah kepentingan aparatur pemerintahan.

Belum lagi dengan pengadaan mobil dinas Bupati Pidie yang mencapai 400 juta (Serambi, 30/08/07). Memang bagi kalangan elit dan pejabat, uang sebanyak itu tidak terkesan banyak. Tapi bagaimana jika masyarakat miskin dan fakir miskin yang jumlahnya ribuan orang mendengar uang dalam jumlah tersebut.

Jangan jadikan perdamaian hanya skin luar untuk mempertahankan konspirasi politik baru dalam mempertahankan kekuasaaan. Sudah banyak tontonan gaya pemimpin demokrasi yang pada akhirnya gagal memimpin tampuk pimpinan di pemerintahan. Banyak tokoh-tokoh perlawan yang ditinggalkan pengikutnya hanya karena tidak mampu mengelola dana publik.

Lech Waleesa dari Polandia, Mikhail Gorbachev asal Uni Soviet, dan Suharto asli Indonesia. Akankah Irwandi-Nazar menatapaki jelak langkah yang sama? Jika tidak maka kegagalan tersebut seharusnya dilakukan Irwandi dengan beberapa hal perioritas. Kesempatan masih terbuka mengingat jutaan rakyat masih memberi kesempatan besar kepada mantan Gerilyawan dan tokoh pemberontak tersebut.

Karena membangun perdamaian perlu langkah-langkah jitu dan akurat. Pertama, membangun gerakan tanpa kekerasan. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat pendidikan bagi pihak yang terlibat dalam Mou Helsiki untuk dapat berbicara dengan bahasa masyarakat. Bukan dengan bahasa kekerasan seperti terjadi di desa Beuridi.

Kedua, restorative justice (mengembalikan keadilan) bagi pada korban konflik dan perlindungan hukum bagi warga masyarakat. Perlindungan hukum tanpa adanya kekuatan uang. Hukum yang berjalan lurus tanpa melihat siapa dibalik layar dengan memberi kenyamana bagi masyarakat, bukan malah menakutkan.

Ketiga, Reconciliation (rekonsiliasi). Pemerintah Irwandi sudah saatnya mengkaji secara serius untuk lahirnya sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) model Aceh. Seperti amanah MoU, Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh. Pengakuan dan pengungkapan kebenaran merupakan bagian terpenting mewujudkan damai permanen.

Dalam proses membangun perdamaian permanen tersebut, kebijakan yang tegas perlu dilakukan pemerintahan Irwandi demi meningkatkan pemerintahan bersih dan berwibawa di mata masyarakat. Tidak adanya korupsi pada upaya pemenuhan hak-hak korban ketika menikmati dana rehabilitasi dan rekonstruksi di era perdamaian ini. Dengan harapan konflik social horizontal bisa terminimalisir.




*) Alumnumnus course fundamental peacebuilding
Mindanao Peacebulding Institute (MPI), Philippines